Rabu, 15 Juni 2011

Membuka Jendela


Sesorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan yang luas, membuatnya menjadi manusia yang utuh, sedangkan orang yang gemar

berdiskusi membuat orang harus siap memberikan jawaban atau

mengajukan pertanyaan, dan orang yang gemar menulis

membuatnya menjadi manusia yang cermat

(Francis Bacon)

Budaya Baca

Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?” Itulah sejumlah pertanyaan yang diajukan Taufiq Ismail dalam sebuah kesempatan.

Pertanyaan tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan berikut ini: ” Saya ingin membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”. Itulah kata Millie, anak berusia dua belas tahun warga Amerika . Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu.

Jawaban atas seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesukesan Millie tidak lain adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia, adalah karena masih tingginya tingkat melek aksara dan sangat payahnya minat baca sebagian besar masyarakat. Kita tidak akan menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup. ”Kalau kalain ingin mengusai dunia dan akhirat kuasailah ilmu,” demikian sabda Nabi Muhammad.

Membaca bagaikan terbang ke sebuah titik pandang yang tinggi untuk menyaksikan hamparan wilayah yang luas: sejarah, ragam manusia, ide-ide, pengalaman, dan buah berbagai pencarian” kata AC Grayling dari Financial Times. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan pada kita bahwa membaca belum menjadi arus utama pembangunan di Indonesia. Juga memperlihatkan betapa buruknya kita menciptakan budaya membaca. Yang berkembang adalah budaya menonton. Kita mengalami sebuah ”lompatan budaya”, yaitu, kita melompat dari keadaan praliterer ke masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Masyarakat praliterasi adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan dan sulit mengakses sumber informasi. Kalaupun mudah, mereka tidak bisa mencernanya dengan baik. Kendala utama tentu saja pendidikan. Masyarakat literasi yang mewakili masyarakat terdidik. Walaupun memiliki akses terhadap bacaan, tidak berarti tradisi baca-tulis tumbuh subur di kalangan ini. Sedangkan masyarakat posliterasi yang mewakili segmentasi penduduk di kota-kota besar, terutama mereka yang memiliki akses ke teknologi informasi dan audiovisual seperti internet, TV kabel, multimedia, sarana telekomunikasi bergerak, dan sebagainya ( Adlin, 2006).

Kita melompat senang menonton televisi, tanpa melalui tahap masyarakat gemar membaca. Dalam hal ini ada benarnya tesis pemikiran Neil Postman yang mengatakan bahwa dunia hiburan dapat membangkrutkan budaya sebuah bangsa, terutama bangsa dengan tradisi membaca yang lemah. Kondisi itu diperburuk semakin tidak pedulinya orang tua akan kegiatan membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku. Ironisnya, ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya, mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.

Masalah minat baca ini akan menjadi malapetaka bagi bangsa jika tidak segera diatasi bersama. Dan, mengatasinya pun tidak dengan tambal sulam. Keluarga harus menjadikan membaca sebagai kegemaran sejak dini. Sekolah harus menerapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan membaca. Dan pemerintah harus menyediakan dana cukup bagi perpustakaan serta mendorong tumbuhnya budaya membaca.

Copyright 2011
JENDELA DUNIA

Powered by
Free Blogger Templates